Istri Yang Baik Atau Ibu Yang Baik?
Thursday, June 22, 2017
Edit
Di mana Ayahku …..
Di mana Bundaku ...
Mungkin petikan bait lagu itu akan sering dinyanyikan oleh belum dewasa kita yang selama ini hampir tidak pernah kita berikan waktu lebih. Yang lebih sering kita tinggal untuk bekerja dengan dalih mencari uang untuk beli susu, pampers dll. Kalau pria memang memiliki kewajiban sebagai kepala keluarga untuk menawarkan nafkah kepada anak istrinya. Tapi bukankah tidak menjadi sebuah keharusan bagi kaum perempuan untuk bekerja?
Ada kalanya ini menjadi sebuah konflik yang merucut, hampir saja suami memaksa saya untuk berhenti kerja ketika pengasuh anak saya berhenti tiba-tiba. Sempat kolabs juga, alasannya ialah kami kehabisan nalar resah harus dititipkan kemana anak kami. Sedangkan orang bau tanah saya juga masih aktif bekerja, mertua nun jauh di sana. Akhirnya dengan terpaksa saya ijin mengajak anak ke sekolah untuk sehari saja.
Pilihan yang sulit, ketika keluarga dihadapkan pada tuntutan ekonomi yang lebih otomatis suami istri harus bekerja sama untuk memenuhinya. Tapi ketika perekonomian keluarga sudah mencukupi dan cenderung berlebih mungkin akan lebih gampang untuk istri memutuskan tidak bekerja.
Ada curhat seorang teman, kebetulan beliau salah satu guru BK di daerah saya bekerja, bukan bermaksud membuka malu tapi ada satu permasalahan yang menciptakan beliau dan terutama saya malu sebagai seorang ibu.
Allah menegur
Waktu itu ada seorang ibu (wali murid) yang berkonsultasi wacana anaknya. Dia sempat mengucapkan kata-kata yang saya ingat hingga sekarang. Bahwa beliau rela meninggalkan karirnya demi untuk menghabiskan waktu bersama anaknya “Saya tidak ingin melewatkan waktu sedetikpun untuk melihat perkembangan anak saya, dan saya tidaj rela kehilangan waktu semenitpun untun mendengar keluhan mereka” Subhanallah, saya malu sebagai seorang ibu, hati saya tercabik sebagai seorang wanita. Rasanya saya menerima teguran dari Allah, apa yang sudah saya lakukan untuk anak saya? Apa yang sudah saya berikan untuk buah hati saya?
Selama ini saya hanya memikirkan mencari uang untuk membantu suami memenuhi kebutuhan rumah tangga, atau membeli kebutuhan anak. Tapi bukankah seorang anak tidak membutuhkan uang tapi perhatian dan kasih sayang.
Saya memang bercita-cita menjadi ibu yang baik, tapi baik berdasarkan saya mungkin bukan baik berdasarkan anak saya kelak. Saya ingin anak saya mempercayai saya menjadi wadah mengeluarkan unek-uneknya. Tapi dengan keadaan kini apakah itu mungkin?
Kalau ada istilah anak durhaka, mungkin saya salah satu orang bau tanah yang durhaka pada anak. Karena saya lebih banyak menghabiskan banyak waktu dengan belum dewasa orang lain di sekolah (di luar tugas) tapi membiarkan anak sendiri menghabiskan waktu dengan nenek, kakek atau malah dengan pengasuhnya.
Istri yang Baik VS Ibu yang Baik
Hati saya perih ketika anak saya cenderung lebih menentukan digendong pengasuh daripada lengket dan dekat dengan saya. Meskipun saya berusaha semaksimal mungkin untuk menarik perhatiannya tapi tetap saja tidak berhasil. Bukan salahnya kalau beliau lebih menentukan digendong orang yang sudah menghabiskan banyak waktu dengannya. Ini salah satu bukti nyata, ternyata anak kita tidak hanya butuh akreditasi tapi juga bukti positif kalau kita ini ibunya!
Memilih menjadi ibu yang baik atau istri yang baik, ketika kita memiliki niat untuk membantu pasangan memenuhi kebutuhan hidup itulah ketika kita menjadi istri yang baik. Tapi kalau kita sanggup memenuhi keduanya antara membantu suami tanpa meninggalkan kewajiban kita sebagai ibu itulah ketika kita benar-benar menjadi ibu yang baik.
Pilihan yang sulit memang, alasannya ialah wanita/istri/ibu ialah penghasil produk-produk yang nantinya memiliki misi untuk dirinya sendiri dan negara ini.
Hidup ini sebuah pilihan, Allah memberi banyak pilihan terserah kita menentukan hidup yang menyerupai apa. Apakah kita menginginkan menjadi istri yang baik saja atau ibu yang baik? Menyakitkan bukan bila anak kita mendendangkan bait lagu di atas…. jangan hingga deh. Ibu saatnya kita memilih....
Berbagai Sumber