Perjuangan Hidup Itu Indah
Monday, December 19, 2016
Edit
Manusia seringkali berlaku egois. Ketika menginginkan rindu sesuatu, ia berdoa habis-habisan dan berupaya sungguh-sungguh demi tercapainya segala yang dirindukan. Tatkala berhasil, serta-merta ia pun melupakan Allah. Bahkan ia menganggap bahwa keberhasilan itu yaitu hasil jerih payah dirinya sendiri.
Sebaliknya, kalau kegagalan menimpa, ia sering kecewa karenanya. Terkadang ia berburuk sangka kepada Allah dan menimpakan kekecewaannya itu kepada siapa saja yang dianggap biang penyebab kegagalan tersebut. Padahal, rasa kecewa, sedih, dan kesal itu lahir alasannya yaitu insan terlalu berharap bahwa kehendak Allah harus selalu cocok dengan keinginannya.
Jelas dari kedua perilaku tersebut ada sesuatu yang terlewatkan. Yaitu perilaku sabar, tawakal, dan syukur nikmat. Karenanya, beruntunglah orang yang mempunyai perilaku sabar dikala tragedi alam tiba menimpa dan mempunyai syukur dikala keberuntungan tiba menerpa.
Sabar, berdasarkan Dzunnun Al-Mishry, yaitu menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan agama dan bersikap hening manakala terkena musibah, serta berlapang dada dalam kefakiran di tengah-tengah medan kehidupan. Atau, ibarat kata Al-Junaid, "Engkau menelan suatu kepahitan tanpa mengerutkan muka".
Adapun syukur, yaitu tindakan memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Seseorang dikatakan bersyukur kepada Allah, apabila ia mengakui nikmat itu di dalam batinnya, kemudian membicarakannya dengan lisan, serta mengakibatkan karunia nikmat itu sebagai ladang ketaatan kepada-Nya. Pada hakikatnya syukur itu merupakan perwujudan perilaku sabar dikala insan mendapat nikmat.
Mengapa kita harus bersabar dikala mendapat nikmat? Karena, karunia nikmat itu justru akan menggelincirkan insan ke dalam kekhilafan dan memperturutkan hawa nafsu. Betapa banyak orang yang bisa bersabar dikala diberikan ujian, tapi tak bisa bersabar dikala diberi kenikmatan.
Lalu seberapa mampukah kita mencicipi nikmatnya sabar?
Syahdan, di masa Rasulullah SAW, sebuah ujian menimpa Ummu Sulaim. Suatu hari anaknya meninggal dunia, padahal suaminya sedang bepergian. Ummu Sulaim berusaha supaya janjkematian anaknya itu tidak diketahui dengan tiba-tiba oleh sang suami sedatangnya dari perjalanan nanti. Ia pun mempersiapkan hidangan untuk menyambut kedatangan suaminya.
Ketika sang suami datang, ia pun segera menyantap hidangan yang telah dipersiapkan dengan lahapnya. "Bagaimana keadaan anak kita sekarang?" tanya suaminya. "Alhamdulillah, semenjak sakitnya itu tidak pernah setenang malam ini," jawab Ummu Sulaim.
Sementara itu, Ummu Sulaim menghias diri dengan menggunakan pakaian terindah yang dimilikinya, supaya sang suami timbul hasratnya. Tak usang sehabis sang suami menggauli dan memuaskan hajatnya, Ummu Sulaim mulai bertanya, "Apakah Kanda tidak merasa heran dengan tetangga-tetangga kita itu?"
"Mengapa mereka?" tanya suaminya."Mereka itu diberi pinjaman, tetapi sehabis diminta kembali, tiba-tiba mereka menyatakan kedukacitaan yang luar biasa," jawab Ummu Suliam."Buruk sekali kelakukan mereka itu," ujar suaminya.Ketika itulah ia memberitahukan apa bergotong-royong yang terjadi terhadap anaknya. "Kanda," ujarnya. "Bukankah anak kita itu hanya pertolongan dari Allah? dan kini Allah telah memanggilnya kembali".
Setelah mendengar perkataan istrinya tersebut, sang suami pun sadar akan apa yang terjadi. "Alhamdulillah, inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun," ungkapnya penuh ketabahan. Keesokan harinya, pagi-pagi benar suaminya pergi ke daerah Rasulullah SAW dan memberitahukan insiden tersebut. Rasul pun berdoa untuk keluarga itu, "Ya Allah, berilah keberkahan untuk kedua suami istri itu pada malam harinya tadi".
Dalam kisah lain diceritakan bagaimana sedihnya Nabi Ya’kub dikala mendengar anaknya, Yusuf meninggal, sampai dikisahkan bagaimana matanya menjadi putih (QS. Yusuf: 84). Dan kesedihan itu semakin bertambah dikala anaknya yang lain Bunyamin ditahan pemerintah Mesir. Namun, apa yang dikatakan Nabi Ya’kub dikala itu? "Fa shabrun jamiil" (QS. Yusuf: 83). Sabar itu indah!
Jadi, kemampuan mencicipi nikmatnya sabar terletak pada seberapa besar mutu pengukuhan akan adanya takdir dan kemahakuasaan Allah SWT. Seseorang bisa sabar - ibarat yang dilakukan Ummu Sulaim dan suaminya - kalau ia bisa meyakini bahwa semua yang terjadi alasannya yaitu izin Allah dan meyakini bahwa Allah tidak akan mendzalimi hamba-Nya.
Sa’ad bin Jubair menawarkan referensi wacana seorang budak belian yang dipukul dengan cambuk. Namun perilaku budak tersebut seperti mencerminkan makna firman-Nya, Inna lillahi Sesungguhnya kami hanya milik Allah semata. Jadi, ia mengakui bahwa dirinya yaitu kepunyaan Allah yang bebas dipergunakan dan diapakan saja oleh Allah.
Sedangkan harapannya akan pahala dikarenakan tragedi alam tersebut seakan merupakan makna dari firman-Nya, Wa inna ilaihi raaji’uun Dan kepada-Nya kita kembali. Oleh alasannya yaitu itu, tidak mengherankan dikala Abu Bakar As-Siddiq jatuh sakit, dan para sobat yang menjenguknya bertanya, "Saudaraku, tidakkah sebaiknya kami panggilkan saja tabib?". Abu Bakar menjawab, "Sudah, tabib sudah memeriksaku". "Apa yang dikatakannya?" tanya mereka. Abu Bakar menjawab, "Dia katakan, "Aku Maha Berbuat terhadap apa yang Aku kehendaki !".
Dengan demikian, syarat mutlak orang bisa bersabar yaitu dikala ditimpa sesuatu, pikirannya pribadi tertuju hanya kepada Allah SWT. Inilah kunci terpenting yang harus dimiliki siapa saja yang ingin menjadi hebat sabar.
Karena itu, keindahan dan keluhuran pribadi seseorang sanggup dilihat dari sejauh mana ia berilmu bersabar. Semakin seseorang bisa bersabar, pasti akan semakin indah pula akhlaknya. Jaminan Allah pun demikian luar biasa bagi hebat sabar. "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas!" (QS. Az-Zumar:10).
"Dan berikanlah kabar bangga pada orang-orang yang sabar, yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, "Inna lillaahi wa inna yang kuasa raaji’uun". Mereka itulah orang-orang yang mendapat rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. Al-Baqarah:155-157).